Subscribe:

Rabu, 16 November 2011

HATI



Hati dan rasa, hingga kapan pun mungkin akan menjadi sesuatu yang tak membosankan untuk dibahas. Hati dengan segala misterinya, dengan kemampuannya memiliki rasa yang hanya diketahui pemilik hati dan Pemilik segala. Hati, yang jika ia baik maka baik pula seluruh tubunya. Sebaliknya bila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya. Mudahkah menjaga hati? Bagiku, sangat sulit! Setiap rasa bisa muncul kapan saja. Bagus jika rasa yang datang itu positif, namun jika rasa itu negatif, tugas kita adalah menjadikannya positif.


Hati dan rasa, sesuatu yang dimiliki setiap manusia. Namun hati-hati dan rasa-rasa itu tidaklah sama. Bahkan dalam situasi yang sama, mereka tetap tidak akan terjamin bisa sama. Di saat seseorang merasa bahagia, mungkin yang lain merasa sedih meski terlihat bahagia. Atau mungkin ia menyimpan kekesalan dan amarah. Di saat seseorang ingin memberikan perhatian dengan hati yang tulus, mungkin yang lain merasa terusik dan tidak suka. Di saat seseorang melakukan sesuatu yang ia anggap penting, mungkin yang lain merasa sebal karena baginya hal itu tidaklah penting. Di saat seseorang mengatakan kata-kata yang baginya biasa, mungkin yang lain merasa tidak nyaman karena baginya hal itu sangat tidak biasa.

Beberapa ikhwah mengatakan, hijab itu yang penting di hati. Ya, itu benar. Posisi yang berjauhan, bicara yang saling membelakangi, rapat di balik hijab, menunduk saat berselisih, memang tidak menjamin hati aman dari rasa yang tidak aman. Namun, jika dengan usaha-usaha menjaga hijab tersebut saja rasa tetap bisa muncul, lantas bagaimana dengan penjagaan hijab tanpa usaha penjagaan fisik? Amankah? Bukankah kondisi seperti ini justru lebih berisiko?

Ada yang berkata, “Niat ana murni untuk dakwah. Ana tidak memikirkan yang lain.” Ya, bagimu akhi/ukhti… meski tetap Allah Yang Maha Tahu tentang niat tersebut. Namun, yakinkah akhi/ukhti bahwa saudara yang didakwahi juga murni niatnya? Yakinkah tidak ada rasa yang muncul dalam hatinya?

Bagaimana jika dengan sikap kita yang terlalu memberi perhatian, saudara kita kemudian berpikir, “Dia baik banget ya… beda sama ikhwan/akhwat kebanyakan. Aku nyaman deh sama dia.” Kemudian sms pun mulai bergulir, mungkin diawali dengan hal yang penting, namun kemudian berlanjut dengan canda, emoticon, perhatian, dukungan dan sebagainya. Belum lagi di dunia maya. Status yang selalu di-comment, hingga comment tulisan di blog dengan bahasa yang akrab. Terutama bagimu akhi… perempuan itu memiliki hati yang mudah luluh. Alhamdulillah bila bentengnya kokoh, namun jika bentengnya rapuh dan ia terjatuh, bagaimana?

Bagaimana jika dengan sikap kita pada sesama ikhwah yang terlalu cair hati juga jadi ternoda? Atau mungkin kita aman-aman saja, namun jika ikhwah lain mengetahui, yakinkah tidak akan ada fitnah? Yakinkah tidak akan membuat yang lain merasa risih? Barangkali tiada sedikit pun maksud dan niatan yang tidak syar’i, namun akankah pada hati dan rasa milik yang lain juga tidak akan ada hal yang tidak syar’i? Seminimalnya, merasa nyamankah saudara kita? Jika dengan sikap kita seseorang jadi punya rasa yang salah, siapakah yang harus bertanggung jawab?


Tetap, sebaik apapun kita menjaga, hati dan rasa milik kita dan milik yang lain belum tentu akan aman. Mari pelihara dengan menghindari hal-hal yang bisa memancing ‘hati’ dan ‘rasa’, meski barangkali hal itu kecil dan sepele. Karena tidak dapat dipastikan dampaknya juga akan kecil dan sepele.

Wallahu a’lam bishshawwab

0 komentar:

Posting Komentar